The Origins of Tempura: A Historical Perspective

The history of tempura in Japan is a captivating narrative that dates back to the 16th century. The dish was introduced by Portuguese missionaries and traders during their expeditions to the archipelago. Initially, tempura included various types of fish and vegetables that were coated in a simple batter and deep-fried in oil, a method brought from Europe. As tempura established its presence in Japan, it gradually began to intertwine with indigenous culinary traditions and available local ingredients.

This culinary fusion facilitated the development of a unique Japanese iteration of the dish, marked not only by a distinctive batter but also by the incorporation of seasonal vegetables and seafood. Over time, tempura evolved from a foreign novelty into a beloved staple of Japanese cuisine. The simplicity and versatility of tempura allowed it to become a favored choice among locals, leading to the emergence of specialized tempura restaurants. These establishments often showcase fresh, locally sourced ingredients, enhancing the dish's quality and flavor.

Crispy Perfection: Exploring Tempura in Japan

Explore the rich history of tempura, a beloved Japanese dish that originated in the 16th century. Learn about its evolution from Portuguese influences to a cherished staple in Japan, with unique regional variations and innovative modern trends. Discover essential cooking techniques, ingredient choices, and notable tempura restaurants throughout Japan. Delve into the artistry behind this culinary delight, highlighting its transformation in contemporary cuisine and the exciting fusion of flavors that tempura represents today.

Cerita yang Hilang dari Arsip, Tapi Masih Hidup di Ingatan

 

Kompas.tv, Kami datang bukan membawa data, tapi mendengarkan ingatan. Di kampung yang tak pernah disorot, di rumah-rumah yang sudah nyaris roboh, kami temukan cerita-cerita yang tak pernah masuk headline. Tentang banjir yang datang bertahun lalu tapi bantuan tak pernah sampai. Tentang anak yang meninggal karena harus berjalan tiga jam ke puskesmas. Cerita-cerita ini tak tercetak, tapi tetap tinggal—menyisakan luka yang belum dijahit oleh perhatian.

 

Mereka Tak Menyalahkan, Tapi Tak Pernah Lupa

 

Orang-orang yang kami temui tak menyimpan dendam, tapi mereka juga tak bisa melupakan. “Kami diam, bukan berarti tak sakit,” ujar seorang ibu sambil menunjukkan foto anaknya yang kini hanya tinggal kenangan. Banyak dari mereka tidak menuntut keadilan, karena bahkan untuk berharap pun mereka sudah terlalu lelah. Tapi dari mata mereka, kami tahu: luka itu belum sembuh. Ia masih menganga, hanya tertutup debu waktu.

 

Bukan Kisah Lama, Tapi Luka yang Masih Bertahan

 

Cerita-cerita ini mungkin terdengar seperti masa lalu, tapi dampaknya masih hari ini. Air bersih yang belum mengalir. Sekolah yang tak pernah dibangun ulang. Lahan yang tak lagi bisa ditanami. Semua ini bukan hanya jejak dari cerita lama—tapi bagian dari hidup yang masih harus mereka jalani setiap hari. Luka itu bukan dongeng. Ia nyata. Dan kami berdiri di tengahnya.

 

Kami Tak Berniat Menghapus Luka, Hanya Membantu Menyuarakannya

 

Kami tahu kami tak bisa menyembuhkan luka itu. Tapi kami bisa duduk di samping mereka yang memilikinya, dan berkata: “Kami mendengar.” Kami bisa merekam suara yang selama ini tenggelam dalam diam. Karena di setiap cerita yang dilupakan, ada manusia yang tetap bertahan. Dan jurnalisme kami adalah tentang mengingat mereka, menyampaikan mereka, dan memastikan mereka tak lagi sendirian.